Apakah anjuran shalat tahiyyatul masjid menjadi gugur, disebabkan duduk?

Apakah anjuran shalat tahiyyatul masjid menjadi gugur, disebabkan duduk?

Shalat tahiyyatul masjid
(Ilustrasi)

Apakah Shalat Tahiyyatul Masjid Gugur Sebab Duduk?

Apabila kita masuk masjid kemudian duduk, apakah anjuran melakukan shalat tahiyyatul masjid tersebut menjadi gugur?
Ketika kita masuk masjid mengingat waktunya begitu sempit kemudian kita langsung melakukan shalat qobliyyah, bolehkah menggabungkan shalat sunnah qobliyyah dengan shalat tahiyyatul masjid?.

Perlu kita ketahui didalam kasus atau pertanyaan beberapa jamaah seperti ini, jawaban dari beberapa para ulama masih menjadikan berselisih pendapat.

Pendapat pertama, menyatakan bahwa shalat tahiyyatul masjid tidak gugur ketika seseorang yang masuk masjid duduk. Artinya, meskipun ia duduk terlebih dahulu anjuran untuk melakukan shalat tahiyyatul masjid masih tetap berlaku baginya. Salah satu kalangan ulama yang menganut pandangan ini adalah ulama Madzhab Hanafi.

وَلَا تَسْقُطُ بِالْجُلُوسِ عِنْدَنَا

Artinya, “Menurut kami (ulama dari kalangan madzhab hanafi, pen) shalat tahiyyatul masjid tidak gugur sebab duduk,” (lihat Ibnu Abidin, Hasyiyah Ar-Raddul Mukhtar, Beirut, Darul Fikr, 1421 H/2000 M, juz II, halaman 19).

Di antara dalil yang digunakan sebagai dasar pandangan ini adalah sabda Rasulullah SAW berikut ini:

عَنْ أَبِي قَتَادَةَ صَاحِبِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ دَخَلْتُ الْمَسْجِدَ وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَالِسٌ بَيْنَ ظَهْرَانَيْ النَّاسِ قَالَ فَجَلَسْتُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا مَنَعَكَ أَنْ تَرْكَعَ رَكْعَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ تَجْلِسَ قَالَ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ رَأَيْتُكَ جَالِسًا وَالنَّاسُ جُلُوسٌ قَالَ فَإِذَا دَخَلَ أَحَدُكُمْ الْمَسْجِدَ فَلَا يَجْلِسْ حَتَّى يَرْكَعَ رَكْعَتَيْنِ

Artinya, “Abu Qatadah RA berkata, ‘Aku masuk ke dalam masjid sedangkan Rasulullah SAW duduk di tengah orang banyak.’ Abi Qatadah RA lantas melanjutkan ceritanya, ‘Lantas aku pun langsung duduk, kemudian Rasulullah SAW berkata kepadaku, ‘Apa alasan yang menghalangimu untuk melakukan shalat dua rakaat sebelum duduk?’ Aku pun menjawab, ‘Wahai Rasulullah, aku melihatmu duduk sedangkan orang-orang juga duduk.’ Rasulullah SAW kemudian bersabda, ‘Ketika salah satu di antara kali masuk masjid, maka jangan duduk sebelum shalat dua rakaat,’” (HR Muslim).

Yang menjadi titik tekan (wajhud dalalah) dalam riwayat di atas adalah bahwa Rasulullah SAW mengingkari duduknya Abi Qatadah sebelum ia melakukan shalat dua rakaat tahiyyatul masjid. Hal ini menunjukkan bahwa shalat tahiyyatul masjid tidak gugur sebab duduk.

Pendapat kedua menyatakan, shalat tahiyyatul masjid menjadi gugur dan tidak perlu diqadha apabila seseorang terlanjur duduk ketika masuk masjid. Hal ini sebagaimana yang kami pahami dalam keterangan kitab Al-Majemu’ Syarhul Muhadzdzab yang ditulis oleh Muhyiddin Syaraf An-Nawawi.

Dalam kitab tersebut dijelaskan bahwa menurut hasil kesepakatan para ulama (ittifaq) seandainya seseorang masuk masjid kemudian duduk sebelum melakukan shalat tahiyyatul masjid dan jedanya lama, maka kesempatan untuk melakukan shalat tersebut hilang, dan ia tidak perlu untuk mengqadla`-nya.

لَوْ جَلَسَ فِي الْمَسْجِدِ قَبْلَ التَّحِيَّةِ وَطَالَ الْفَصْلُ فَاتَتْ وَلَا يُشْرَعُ قَضَاؤُهَا بِالْاِتِّفَاقِ كَمَا سَبَقَ بَيَانُهُ

Artinya, “Jika seseorang duduk di dalam masjid sebelum melakukan shalat tahiyyatul masjid dan berselang lama, maka hilanglah kesempatan melakukan shalat tersebut dan tidak disyariatkan untuk mengqadla`nya. Demikian menurut kesepakatan para ulama (ittifaq) sebagaimana yang telah dijelaskan,” (Lihat Muhyiddin Syaraf An-Nawawi, Al-Majemu’ Syarhul Muhadzdzab, Jeddah, Maktabah Al-Irsyad, juz III, halaman 545).

Lantas bagaimana jika jedanya tidak lama atau hanya duduk sebentar? Menurut pendapat para ulama dari kalangan Madzhab Syafi’i, tetap saja kesempatan untuk melakukan shalat tahiyyatul masjid berlalu atau hilang disebabkan duduk. Dan ia tidak perlu menjalankan shalat tahiyyatul masjid setelah duduk.

فَاِنْ لَمْ يَطُلِ الْفَصْلُ فَالَّذِي قَالَهُ الْاَصْحَابُ أَنَّهَا تَفُوتُ بِالْجُلُوسِ فَلَا يَفْعَلُهَا بَعْدَهُ

Artinya, “Jika seseorang duduk di dalam masjid sebelum melakukan shalat tahiyyatul masjid dan berselang lama, maka hilanglah kesempatan melakukan shalat tersebut dan tidak disyariatkan untuk mengqadla`-nya. Demikian menurut kesepakatan para ulama (ittifaq) sebagaimana yang telah dijelaskan,” (Lihat Muhyiddin Syaraf An-Nawawi, Al-Majemu’ Syarhul Muhadzdzab, juz III, halaman 545).

Beberapa Masalah / Hukum Yang Berkaitan Dengan Shalat Tahiyatul Masjid

Masalah Pertama:
Disyari’atkannya untuk shalat Tahiyatul Masjid di setiap waktu (tidak ada waktu yang terlarang), karena ia termasuk shalat yang berkaitan dengan sebab (yaitu karena masuk ke masjid). Inilah pendapat yang dipilih oleh Syeikhul islam ibnu Thaimiyyah, majduddin Abul Barakat, Ibnul Jauzi, dan yang lain. (Al-inshof : 2/802, Al-Muharrar : 1/86, Nailul Authar : 3/62, Fatawa li ibni Thaimiyyah : 23/219)
Pendapat ini juga dipilih oleh Syeikh Muhammad bin Utsaimin (Syarah Mumthi’ ” (4/179)) dan juga Syeikh Ibnu Baz dalam kitab fatawa.

Masalahan Kedua:
Waktu/pelaksanaan shalat Tahiyatul Masjid adalah ketika masuk ke masjid dan sebelum duduk. Adapun jika ia sengaja duduk, maka tidak di syari’atkan untuk mengerjakan shalat tahiyatul masjid. Hal itu dikarenakan telah kehilangan kesempatan (yaitu ketika masuk masjid dan sebelum duduk). (Ahkam Tahiyatul Masjid, 5)

Masalah Ketiga:
Adapun jikalau ia masuk masjid dan langsung duduk karena tidak tahu atau lupa dan belum mengerjakan shalat Tahiyatul Masjid, maka ia tetap disyari’atkan untuk mengerjakan shalat tahiyatul masjid, karena orang yang diberi uzur (karena lupa atau tidak tahu) tidak hilang kesempatan untuk megerjakan shalat tahiyatul masjid, dengan syarat jarak antara duduk dengan waktunya tidak terlalu lama. (Fathul Bari, 2/408)

Masalah Keempat:
Apabila ada orang yang masuk ke Masjid sedangkan azan dikumandangkan, maka yang sesuai syari’at adalah menjawab adzan dan menunda sebentar untuk shalat Tahiyatul Masjid, karena saat itu menjawab adzan lebih penting. Kecuali kalau ia masuk ke masjid pada hari jum’at, sedangkan adzan untuk khutbah tengah dikumandangkan, maka dalam kondisi seperti ini mendahulukan shalat tahiyatul masjid daripada menjawab azan (agar bisa mendengarkan khutbah). Karena mendengarkan khutbah lebih penting.” (Al-Inshaf, 1/427)

Masalah Kelima:
Apabila ada orang yang masuk ke masjid sedangkan imam saat itu sedang berkhutbah, maka tetap disunnahkan untuk mengerjakan shalat Tahiyatul Masjid, dan hendaknya meringankannya/mempercepatnya (Al-Fatawa li Ibni Taimiyyah, 23/219). Hal ini sebagaimana dalam hadits Nabi, “Maka janganlah ia duduk kecuali telah mengerjakan dua raka’at” (HR Bukhari (1163) dan Muslim (714)). Begitu pula dalam hadits yang lain,´“Hendaklah ia kerjakan dua raka’at, dan hendaklah meringankanya.” (HR Bukhari (931), Muslim (875)). Jika seorang khatib hampir selesai khutbah, dan menurut dugaan kuat jika ia mengerjakan shalat Tahiyatul Masjid akan ketinggalan shalat wajib (shalat jum’at), maka hendaknya ia berdiri untuk mengerjakan shalat jum’at, dan setelah selesai shalat Jumat hendaknya ia jangan sampai langsung duduk tanpa mengerjakan shalat tahiyatul masjid.

Masalah Keenam:
Penghormatan di Masjidil Haram adalah Thawaf, hal ini sebagaimana dikemukakan Jumhur Fuqaha’. Imam Nawawi berkata, “Shalat Tahiyyatul Masjidil untuk Masjidil Haram adalah Thawaf, yang dikhususkan bagi pendatang. Adapun orang yang Muqim/menetap disitu maka hukumnya sama seperti masjid-masjid yang lain (yaitu disunnahkan shalat Tahiyatul Masjid)” (Fathul Bari: 2/412)
Namun sebagai catatan, hadits yang dijadikan rujukan dalam masalah ini adalah hadits yang tidak shahih/benar. Bahkan tidak ada asalnya dari Nabi. Lafaz hadits tersebut adalah:

تحية البيت الطواف

“Tahiyyat bagi Al-Bait (Ka’bah) adalah thawaf,” (Lihat Adh-Dhaifah no. 1012 karya Al-Albani –rahimahullah-),

Jadi kesimpulannya shalat Tahiyatul Masjid berlaku untuk semua masjid, termasuk masjidil haram. Sehingga orang yang masuk masjidil haram tetap dianjurkan baginya untuk melakukan tahiyatul masjid jika dia ingin duduk.

Masalah Ketujuh:
Shalat qabliyah dapat menggantikan tahiyatul masjid, karena maksud dari shalat tahiyatul masjid adalah agar orang yang masuk masjid memulai dengan shalat, sedangkan ia telah melaksanakan shalat sunnah rawatib. Jika ia berniat shalat sunnah rawatib sekaligus shalat tahiyatul masjid atau berniat shalat fardhu maka ia telah mendapat pahala secara bersamaan. (Kasyful Qana’: 1/423)

Masalah Kedelapan:
Adapun seorang imam, maka cukup baginya untuk mendirikan shalat fardhu tanpa shalat Tahiyatul Masjid. Hal itu dikarenakan imam datang di akhir dan kedatangannya dijadikan sebagai tanda untuk mengumandangkan iqamat. (Subulus Salam: 1329)
Adapun jikalau imam telah datang sejak awal waktu, maka tetap disyari’atkan bagi imam untuk mengerjakan shalat Tahiyatul Masjid, sebagaimana makmum. Hal itu sebagaimana keumuman dalil, “Jika salah seorang dari kalian masuk ke Masjid, maka janganlah duduk sehingga ia shalat dua raka’at terlebih dahulu.” (HR Bukhari (444), Muslim (764))
Mengenai shalat di tanah lapang (seperti shalat ied, istisqa’), maka tidak disyari’atkan untuk mengerjakan shalat Tahiyatul Masjid, (Al-Fawakihul Adidah : 1/99)
Namun sebagian ulama’ ada yang membolehkan shalat tahiyatul Masjid di tanah lapang karena di tinjau dari segi hukumnya sama seperti shalat berjama’ah di dalam masjid. (Al-inshaf: 1/246). Namun yang lebih rajih insya Allah pendapat yang pertama, karena berbeda dari sisi tempatnya dan juga dzahirnya hadits : “Jika salah seorang dari kalian masuk ke Masjid…. (HR Bukhari dan Muslim)

Masalah Kesembilan:
Tidak dipungkiri bahwa shalat tahiyatul masjid berlaku utk siapa saja, laki-laki & perempuan yang hendak melakukan shalat berjama’ah di masjid. Hanya saja para ulama mengecualikan darinya khatib Jum’at, dimana tak ada satupun dalil yang menunjukkan bahwa Nabi –shallallahu Alaihi wassalam- shalat tahiyatul masjid sebelum beliau khutbah. Akan tetapi beliau datang & langsung naik ke mimbar (Al-Majmu’: 4/448).

Hikmah dari Shalat Tahiyatul Masjid
Hikmah dari mengerjakan Shalat Tahiyatul Masjid adalah sebagai penghormatan terhadap Masjid, sebagaimana seseorang masuk ke rumahnya dengan mengawali ucapan salam, dan juga sebagaimana seseorang yang mengucapkan salam kepada sahabatnya disaat keduanya bertemu.
Semoga Allah memberi pertolongan kepada kita agar kita senantiasa dimudahkan dalam memahami agama Islam yang benar, dan dimudahkan dalam mengamalkannya dan mendakwahkannya.

Apabila kita masuk masjid kemudian duduk, apakah anjuran melakukan shalat tahiyyatul masjid tersebut menjadi gugur? Ketika kita masuk masjid mengingat waktunya begitu sempit kemudian kita langsung melakukan shalat qobliyyah, bolehkah menggabungkan shalat sunnah qobliyyah dengan shalat tahiyyatul masjid?

Post a Comment

Apakah anjuran shalat tahiyyatul masjid menjadi gugur, disebabkan duduk?
Like dan follow ya di https://www.facebook.com/buletinalbadar/

[facebook][blogger]

Buletin Al Badar

{google-plus#//plus.google.com/101370749142569423899} {facebook#//www.facebook.com/buletinalbadar} {twitter#//twitter.com/BuletinAlBadar} {instagram#//www.instagram.com/buletinalbadar/}

Formulir Kontak

Name

Email *

Message *

Powered by Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget