[youtube src="48IX2kUXOak"][/youtube]
Menjaga Keluhuran Lafadz Tauhid
Bagi ulama-ulama sepuh Ahlussunnah Wal Jama'ah untuk menjaga keluhuran lafadz tauhid adalah dengan mengamalkannnya dengan dzikir dipatri dalam hati, dan itu yang selama ini diajarkan kepada para santri.
Ikhtiyath bisa kita sebut sebagai tradisi moral kalangan santri dalam berfikih. Ikhtiyath inilah yang membuat mereka membuat kobokan kaki di luar tempat wudhu sebelum masuk masjid, memilih pakai mukenah terusan daripada potongan, pelafalan niat sebelum takbirotul ihrom, koor niat puasa setelah taraweh, memakai sandal khusus dari toilet ke tempat salat di rumah.
Apalagi dalam kaitannya dengan kalimat tauhid. Ada kehati-hatian fikih bagi kalangan santri agar tidak sembrono meletakkan kalimat suci tersebut di sembarang tempat. Bagi santri, menjaga keluhuran lafadz tauhid adalah jimat dunia akhirat yang sangat luhur. Ia tidak boleh tercecer, tergeletak, terbuang, atau bertempat di lokasi kotor apalagi najis.
Jika ia dicetak di sandangan semisal kaos, baju, topi, atau bandana, dikuatirkan bisa bercampur najis ketika dicuci. Jika dicetak di spanduk-spanduk atau bendera temporer, dikuatirkan akan tercampakkan sewaktu-waktu. Kalau dicantumkan di lambang pesantren, akan menyulitkan saat membuat undangan, kartu syahriyah, baju almamater, dan lainnya. Apalagi jika dicetak di stiker-stiker. Di tempat-tempat tersebut, kalimat tauhid bisa sangat rawan terabaikan.
Bagi kalangan pesantren, lafadz tauhid hanya boleh dicantumkan di tempat-tempat spesial yang sekiranya bisa terjaga kehormatannya. Semisal panji peperangan yang tentu akan dijaga kibarannya hidup atau mati. Sebagaimana kisah dramatis Sayyidina Ja'far at-Thayyar. Atau bendera kerajaan yang tentu akan dirawat dan dimuliakan, sebagaimana bisa kita lihat di kasunanan Cirebon. Wallohu a'lam bisshowaab
Post a Comment