February 2017

[soundcloud src="309741733"/]
Gus Dur, Syi'ir tanpo waton

Syi'ir Tanpo Wathon

Asal-usul dan teks Syi'ir Tanpo Wathon



Akeh kang apal Qur’an Haditse ….Seneng ngafirke marang liyane 

Kafire dewe dak digatekke …. Yen isih kotor ati akale

Syi'ir yang terlihat sederhana itu maknanya sangat dalam sekali. Lebih dari itu, dengan suara yang khas, jika diresapi, maknanya sangat menyentuh hati. Jika diikuti dari awal hingga akhir syi-ir semua lapisan masyarakat, tak peduli pangkat ataupun derajatanya, tinggi maupun rendah status sosialnya, beriman atau abangan akan tersindir dengan syi-iran itu.

Simak saja kutipan syi-iran berikut ini:


Akeh kang apal Qur’an Haditse ….Seneng ngafirke marang liyane

Kafire dewe dak digatekke …. Yen isih kotor ati akale 2X

(Banyak yang hapal Qur’an dan Haditsnya….senang mengkafirkan pada orang lain
kafirnya sendiri tak dihiraukan….jika masih kotor hati dan akalnya)


Atau ketika menyinggung banyaknya orang yang tergiur kemewahan dunia yang disindir sebegai berikut:


Gampang kabujuk nafsu angkoro ….Ing pepaese gebyare ndunyo

Iri lan meri sugihe tonggo….Mulo atine peteng lan nisto

(gampang terbujuk nafsu angkara….dalam hiasan gemerlapnya dunia

iri dan dengki kekayaan tetangga….maka hatinya gelap dan nista)

Semakin hari syi-iran ini semakin menyebar saja. Entah itu berupa ringtone, atau diputar di mushalla-mushalla atau masjid, dalam jam-jam tertentu. ‘Nyanyian’ tanpa iringan musik begitu syahdu ini, akhirnya menyisakan polemik. Sebab, sebagian kalangan mengatakan bahwa, alunan suara itu milik Muhammad Nizam As-Sofa, pemangku Pondok Pesantren Ahlus Shofa wal Wafa, Wonoayu, Sidoarjo.

Syi’ir Tanpo Wathon ini, menjadi buruan Gusdurians (sebutan pengidola Gus Dur). Di situs Youtube, yang diunggah berbagai versi, telah dikunjungi puluhan ribu. Sedangkan di situs 4shared, syiir ini diunduh lebih dari 10 ribu. Belum lagi, transfer antar ponsel via bluetooth. Sebagian besar meyakini bahwa suara yang melantunkan syi’ir itu, adalah suara Gus Dur, dan dikabarkan, sekitar 2 bulan sebelum sang Bapak Pluralis ini wafat.

Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Said Aqil Siradj, yang dikenal sangat dekat dengan Gus Dur menegaskan bahwa syiir Tanpo Wathon bukanlah ciptaan Gus Dur. “Gus Dur hanya menyumbang dua bait istighfar pada Syi’ir Tanpo Wathon. Yaitu: Astagfirullah robbal baroya Astagfirulloh minal khootooya Robbi zidni 'ilmannaafii'a Wawaffikni 'amalansoliha. Yarosulalloh salammun'alaik. Yaa rofi'asysyaani waddaaroji. 'athfatan yaajirotall 'alami. Yaauhailaljuu diwalkaromi. Hanya dua bait inilah yang disumbang oleh almarhum,” ujar Kang Said, panggilan akrab  Said Aqil Siradj.

Kang Said lebih cenderung kepada sosok Gus Nizam - Muhammad Nizam Ash-Shofa Pengasuh Ponpes Ahlush Shofa wal Wafa, Wonoayu-Sidoarjo. Dan sudah ada sejak 2004 yang dikumandangkan tiap selesai kajian Jami'ul Ushul & Alfathur Rabbani setiap malam Kamis.

“Kalau bait yang lainnya memang karya Gus Nizam. Saya sendiri tidak tahu kapan persisnya Syi’ir ini dibuat dan dikumandangkan. Namun yang pasti Syi’ir ini sudah ada kira-kira tahun 2004, bukan dibuat Gus Dur dua bulan sebelum meninggal,” imbuh Kang Said.

Syi’ir ini sangat ngetop ketika selalu diputar dalam Muktamar [tooltip url="http://buletinalbadar.blogspot.co.id/search/label/GP%20Ansor" title="GP Ansor"]GP Ansor[/tooltip] XIV, di Surabaya, Januari 2011 lalu. Kang Said mengaku sangat senang, karena syiir ini bukan tenggelam begitu saja, malah kian meluas. Kini, masjid atau musala rutin memutar syiir ini, di waktu menjelang salat.

“Alhamdulillah sekali. Karena kalau kita dengarkan lalu direnungkan ada makna yang begitu mendalam dalam Syi’ir Tanpo Kathon. Syi’ir ini memberikan pembelajaran dalam hidup, agar kita jangan terlena oleh gemerlapnya dunia, tapi juga harus mempertebal iman dan tanpa merendahkan orang lain agar kelak tidak tersesat di akhirat,” ular Kang Said.

Tetapi, dalam polemik yang terjadi di Internet, disebut bahwa syiir ini dilantunkan Gus Dur saat masih berusia muda. Bahkan, ada orang yang dekat keluarga Gus Dur melakukan klarifikasi kepada ahli waris Gus Dur. “Keluarga beliau membenarkan bahwa itu adalah suara Gus Dur saat masih muda, sekitar tahun 1990-an,” tulis seseorang yang memakai nama ardwall99, dalam komentar di situs youtube.

Sementara soal gubahan, hampir tak terjadi polemik, karena syiir ini ternyata sudah ada sejak lama sekali. Jadi, ada yang mengatakan pengarang syiir ini sulit dilacak.
Ada wacana lain yang muncul bahwa syiir ini sudah ada sejak era orde lama. “Yang jelas, zaman mbah kulo tesih gesang syi'iran niku mpun wonten lan dilantunaken kalean poro pengikut NU (Ketika mbah masih hidup, syiiran ini sudah ada dan dilantunkan oleh para pengikut NU,red),” tulis Amir, satu bulan lalu, di  situs Ponpes Pondok Pesantren Ahlus Shofa wal Wafa.

Dan satu wacana lain muncul, mantan anggota sebuah padepokan di Mojokerto, yang menyebut dirinya thumbenae, mengatakan bahwa pengarang aslinya adalah orang Mojokerto. “Dulu setiap hari Sabtu malam ada pengajian tasyawwuf rutin di padepokanku, dan disiarkan secara live oleh radio. Sayangnya, sekarang pengajian itu sudah tak ada lagi. Tapi saya masih punya banyak rekaman pengajian. Jka ingin ketemu wujud pengarang syiir, saya bisa antarkan untuk silaturahim,” tulis thumbenae.


Bermula dari Radio Yasmara

Peredaran Syiir Tanpa Wathon semula sangat lamban karena hanya digandakan atau beredar di kalangan terbatas. Namun, radio Yasmara (Yayasan Masjid Rahmad) Surabaya memiliki ide kreatif agar syiir yang syarat makna sangat dalam itu bisa didengar dan diresapi masyarakat secara luas.

SEPERTI diketahui, Yasmara adalah satu-satunya radio yang masih konsisten melakukan siar Islam dalam siarannya. Radio dengan basis gelombang AM itu siaran adzannya selalu direlai berbagai masjid sebelum salat lima waktu. Peluang inilah yang dilihat pengelola radio Yasmara untuk mengumandangkan Syiir Tanpo Waton ini agar lebih didengar masyarakat secara luas tanpa harus susah-susah mencari VCD-nya.

Ketua II Yayasan Masjid Rahmad dan Penanggung Jawab Radio Yasmara Surabaya, Anis Busroni membenarkan setiap harinya, sebelum salat lima waktu, Yasmara mengumandangkan Syiiran Tanpo Waton ini. Semula syiiran itu hanya dilagukan ketika usai adzan untuk menunggu iqomah. Kondisi itu membuat Anis berpikir, syiir Tanpo Wathon ini harus disiarkan secara luas.

“Seperti diketahui, sejak tahun 1969, pembacaan ayat suci al-Quran di radio Yasmara selalu direlai atau disiarkan masjid atau musala di Jawa Timur, sambil menunggu tibanya waktu adzan,”  ujar Anis.

Durasi pembacaan al-Quran itu sendiri sekitar 7 menit. Dengan tidak mengurangi waktu pembacaan Quran, sebelum ayat suci itu dilantunkan terlebih dahulu diputar Syiir Tanpo Waton. Ternyata tanggapan berbagai masjid sangat luar biasa dengan selingan tambahan itu. Walau semula mereka terkejut, namun akhirnya senang setelah mengetahui makna syiir yang sangat dalam dan mengena.

Darimana Yasmara mendapatkan rekaman Syiir Tanpo Waton (yang diyakini Anis adalah suara Gus Dur)? Ceritanya ternyata cukup unik, dan tidak didapat langsung dari kerabat Gus Dur.

Sejak akhir Desember 2010, Anis mendapatkan ‘syiiran Gus Dur’ dari Ir H. Nanang Adi Sucipto temannya sesama pegawai PDAM Kota Surabaya. Setelah didengarkan ternyata syiirnya sangat sederhana, bahasanya komunikatif, namun maknanya sangat mendalam sekali. Sejak saat itu langsung diputar dan disiarkan di radio Yasmara.

Ir H. Nanang ketika dikonfirmasi mengatakan, dia mendapatkan syiiran Gus Dur ini dari santri Pondok pesantren Tebu Ireng Jombang. Namun dia lupa siapa dia karena pertemuannya hanya sesaat. Santri tersebut hanya mengaku diberi syiiran Gus Dur dari kerabat dekat Gus Dur dengan tidak menyebut siapa kerabat dekat itu.

Terlepas benar atau tidaknya pencipta dan atau pelantun syiiran adalah Gus Dur, Anis meyakini bahwa suara syiiran yang beredar selama ini memang suara asli Gus Dur. Hal ini diperkuat dengan setiap akhir siaran TV9 yang notabene milik Nahdhatul Ulama selalu memutar syiiran Gus Dur dengan latar belakang Gus Dur. Dan lagi sampai saat ini sudah banyak beredar kaset, vcd, atau dvd yang berisi syiiran Gus Dur di masyarakat tanpa ada yang menggugat dan mengaku pemilik Syiiran Gus Dur tersebut.

Ketika diberi tahu bahwa ada salah satu pengasuh Pondok Pesantren yang mempunyai hak cipta atas syiiran Gus Dur ini, Anis tampak terkejut dan ingin sekali bertemu dengan pemilik hak cipta tersebut.

"Ini menjadi tanggung jawab kami untuk meluruskan, terutama kepada pendengar radio Yasmara yang percaya bahwa suara yang melantunkan Syiiran Gus Dur ini memang KH Abdurrahman Wachid alias Gus Dur," ujar lelaki yang juga menjabat sebagai Kabag Penertiban PDAM Surabaya ini.

Apabila benar ada yang mempunyai hak cipta, Anis ingin mengajak siaran langsung di radio Yasmara sekalian meluruskan apa yang salah selama ini.

Gus Nizam Tak Keberatan Disebut Syi'ir Gus Dur

Gus Nizam‘Syiir Tanpo Waton’ yang sebagian kalangan meyakini itu diciptakan dan dilantunkan Gus Dur, ternyata KH Mohammad Nizam Ash-Shofa, pemangku Pondok Pesantren Ahlush-Shofa Wal-Wafa  yang beralamat di Desa Simoketawang Kecamatan Wonoayu Sidoarjo memiliki beberapa bukti kalau itu ciptaannya.

KETIKA HARIAN BANGSA bertandang ke pondok pesantren Ahlus-Shofa Wal-Wafa, agak terkejut ketika bertemu langsung dengan KH Mohammad Nizam Ash-Shofa yang akrab dipanggil Gus Nizam ini. Suara berat yang menandakan usia orang yang sudah sepuh yang terdengar di masjid-masjid selama ini, tidak demikian dengan Gus Nizam.
Dari sisi usia jauh di bawah Gus Dur yang diyakini orang sebagai suara dalam Syiir Tanpo Waton.

Baru ketika Gus Nizam mengucap salam dan menjabat tangan, HARIAN BANGSA yakin betul, suara Gus Nizam memang sangat mirip dengan suara Gus Dur. Selama wawancara berlangsung, suara mirip Gus Dur itu sama sekali tak berubah atau dimirip-miripkan Gus Dur agar orang yakin.

Dalam keterangannya, Gus Nizam menyatakan, bila syiir yang ia sebut Syiir Tanpa Waton sudah diciptakan sejak tahun 2004.

"Saat itu saya mulai senang menyendiri di kamar, menggandrungi kesenian wayang sambil belajar bahasa Jawa," ucapnya. Sejak itulah syiir berbahasa Jawa Kawi ini selalu dibaca ribuan para jamaahnya usai pengajian, yang rutin dilaksanakan setiap hari Rabu malam, hingga sekarang.

Disinggung tentang kepopuleran syiir yang oleh sebagian orang dikatakan sebagai karya dan suara Gus Dur, Lulusan Universitas Al-Azhar Mesir ini mengaku tidak mempermasalahkan.

Malah, dia bersyukur bila Syiir yang diciptakannya itu bisa didengar banyak  masyarakat. "Kalau memang dengan sebutan Syiir Gus Dur masyarakat luas bisa mendengar. Maka saya malah bersyukur dan tidak mempermasalahkannya. Toh tujuannya sama, demi syiar Islam," tegasnya sambil memberikan pada HARIAN BANGSA CD asli Syiir Tanpo Waton sebagai bukti.

Dalam CD yang berisi 8 pujian itu Syiir Tanpo Waton jusru berada pada nomor dua. Seluruh pujian dalam CD itu dibawakan sendiri oleh Gus Nizam bersama para santrinya. Hanya Syiir Tanpo Waton yang menggunakan bahasa Jawa, 7 lainnya berbahasa Arab. Gus Nizam tidak terlalu mempermasalahkan jika syiiran itu diakui pihak lain. Dorongan justru datang dari para jamaahnya. Para pengurus dan jamaah, akhirnya mengukuhkan Syiir Tanpa Waton itu ke Dirjen Hak atas Kekayaan Intelektual (HKI) sebagai bukti Hak Cipta.

"Sebenarnya saya sendiri tidak keberataan bila ada pihak-pihak yang ingin mengakuinya. Tapi pengurus dan jamaah lah yang justru mendaftarkan hak ciptanya, sejak Mei lalu, dan sekarang masih dalam proses," tambahnya sambil menunjukkan surat permohonan HKI.

“Jika ada pihak-pihak yang ingin mengakui syiir, silahkan," tuturnya, sembari mengucapkan kata-kata guyonan 'Gitu aja kok repot'.

Berikut teks Syi'ir Tanpo Wathon dan terjemahan bebasnya dalam bahasa Indonesia:



Syi'ir Tanpo Wathon (Syair Tanpa Judul)

Ngawiti ingsun nglaras syi’iran (aku memulai menembangkan syi’ir)
Kelawan muji maring Pengeran (dengan memuji kepada Tuhan)
Kang paring rohmat lan kenikmatan (yang memberi rohmat dan kenikmatan)
Rino wengine tanpo pitungan 2X (siang dan malamnya tanpa terhitung)
Duh bolo konco priyo wanito (wahai para teman pria dan wanita)
Ojo mung ngaji syareat bloko (jangan hanya belajar syari’at saja)
Gur pinter ndongeng nulis lan moco (hanya pandai bicara, menulis dan membaca)
Tembe mburine bakal sengsoro 2X (esok hari bakal sengsara)
Akeh kang apal Qur’an Haditse (banyak yang hapal Qur’an dan Haditsnya)
Seneng ngafirke marang liyane (senang mengkafirkan kepada orang lain)
Kafire dewe dak digatekke (kafirnya sendiri tak dihiraukan)
Yen isih kotor ati akale 2X (jika masih kotor hati dan akalnya)
Gampang kabujuk nafsu angkoro (gampang terbujuk nafsu angkara)
Ing pepaese gebyare ndunyo (dalam hiasan gemerlapnya dunia)
Iri lan meri sugihe tonggo (iri dan dengki kekayaan tetangga)
Mulo atine peteng lan nisto 2X (maka hatinya gelap dan nista)
Ayo sedulur jo nglaleake (ayo saudara jangan melupakan)
Wajibe ngaji sak pranatane (wajibnya mengkaji lengkap dengan aturannya)
Nggo ngandelake iman tauhide (untuk mempertebal iman tauhidnya)
Baguse sangu mulyo matine 2X (bagusnya bekal mulia matinya)
Kang aran sholeh bagus atine (Yang disebut sholeh adalah bagus hatinya)
Kerono mapan seri ngelmune (karena mapan lengkap ilmunya)
Laku thoriqot lan ma’rifate (menjalankan tarekat dan ma’rifatnya)
Ugo haqiqot manjing rasane 2 X (juga hakikat meresap rasanya)
Al Qur’an qodim wahyu minulyo (Al Qur’an qodim wahyu mulia)
Tanpo tinulis biso diwoco (tanpa ditulis bisa dibaca)
Iku wejangan guru waskito (itulah petuah guru mumpuni)
Den tancepake ing jero dodo 2X (ditancapkan di dalam dada)
Kumantil ati lan pikiran (menempel di hati dan pikiran)
Mrasuk ing badan kabeh jeroan (merasuk dalam badan dan seluruh hati)
Mu’jizat Rosul dadi pedoman (mukjizat Rosul(Al-Qur’an) jadi pedoman)
Minongko dalan manjinge iman 2 X (sebagai sarana jalan masuknya iman)
Kelawan Alloh Kang Moho Suci (Kepada Alloh Yang Maha Suci)
Kudu rangkulan rino lan wengi (harus mendekatkan diri siang dan malam)
Ditirakati diriyadohi (diusahakan dengan sungguh-sungguh secara ihlas)
Dzikir lan suluk jo nganti lali 2X (dzikir dan suluk jangan sampai lupa)
Uripe ayem rumongso aman (hidupnya tentram merasa aman)
Dununge roso tondo yen iman (mantabnya rasa tandanya beriman)
Sabar narimo najan pas-pasan (sabar menerima meski hidupnya pas-pasan)
Kabeh tinakdir saking Pengeran 2X (semua itu adalah takdir dari Tuhan)
Kelawan konco dulur lan tonggo (terhadap teman, saudara dan tetangga)
Kang podho rukun ojo dursilo (yang rukunlah jangan bertengkar)
Iku sunahe Rosul kang mulyo (itu sunnahnya Rosul yang mulia)
Nabi Muhammad panutan kito 2x (Nabi Muhammad tauladan kita)
Ayo nglakoni sakabehane (ayo jalani semuanya)
Alloh kang bakal ngangkat drajate (Allah yang akan mengangkat derajatnya)
Senajan asor toto dhohire (Walaupun rendah tampilan dhohirnya)
Ananging mulyo maqom drajate 2X (namun mulia maqam derajatnya di sisi Allah)
Lamun palastro ing pungkasane (ketika ajal telah datang di akhir hayatnya)
Ora kesasar roh lan sukmane (tidak tersesat roh dan sukmanya)
Den gadang Alloh swargo manggone (dirindukan Allah surga tempatnya)
Utuh mayite ugo ulese 2X (utuh jasadnya juga kain kafannya)

Apakah anjuran shalat tahiyyatul masjid menjadi gugur, disebabkan duduk?

Shalat tahiyyatul masjid
(Ilustrasi)

Apakah Shalat Tahiyyatul Masjid Gugur Sebab Duduk?

Apabila kita masuk masjid kemudian duduk, apakah anjuran melakukan shalat tahiyyatul masjid tersebut menjadi gugur?
Ketika kita masuk masjid mengingat waktunya begitu sempit kemudian kita langsung melakukan shalat qobliyyah, bolehkah menggabungkan shalat sunnah qobliyyah dengan shalat tahiyyatul masjid?.

Perlu kita ketahui didalam kasus atau pertanyaan beberapa jamaah seperti ini, jawaban dari beberapa para ulama masih menjadikan berselisih pendapat.

Pendapat pertama, menyatakan bahwa shalat tahiyyatul masjid tidak gugur ketika seseorang yang masuk masjid duduk. Artinya, meskipun ia duduk terlebih dahulu anjuran untuk melakukan shalat tahiyyatul masjid masih tetap berlaku baginya. Salah satu kalangan ulama yang menganut pandangan ini adalah ulama Madzhab Hanafi.

وَلَا تَسْقُطُ بِالْجُلُوسِ عِنْدَنَا

Artinya, “Menurut kami (ulama dari kalangan madzhab hanafi, pen) shalat tahiyyatul masjid tidak gugur sebab duduk,” (lihat Ibnu Abidin, Hasyiyah Ar-Raddul Mukhtar, Beirut, Darul Fikr, 1421 H/2000 M, juz II, halaman 19).

Di antara dalil yang digunakan sebagai dasar pandangan ini adalah sabda Rasulullah SAW berikut ini:

عَنْ أَبِي قَتَادَةَ صَاحِبِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ دَخَلْتُ الْمَسْجِدَ وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَالِسٌ بَيْنَ ظَهْرَانَيْ النَّاسِ قَالَ فَجَلَسْتُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا مَنَعَكَ أَنْ تَرْكَعَ رَكْعَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ تَجْلِسَ قَالَ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ رَأَيْتُكَ جَالِسًا وَالنَّاسُ جُلُوسٌ قَالَ فَإِذَا دَخَلَ أَحَدُكُمْ الْمَسْجِدَ فَلَا يَجْلِسْ حَتَّى يَرْكَعَ رَكْعَتَيْنِ

Artinya, “Abu Qatadah RA berkata, ‘Aku masuk ke dalam masjid sedangkan Rasulullah SAW duduk di tengah orang banyak.’ Abi Qatadah RA lantas melanjutkan ceritanya, ‘Lantas aku pun langsung duduk, kemudian Rasulullah SAW berkata kepadaku, ‘Apa alasan yang menghalangimu untuk melakukan shalat dua rakaat sebelum duduk?’ Aku pun menjawab, ‘Wahai Rasulullah, aku melihatmu duduk sedangkan orang-orang juga duduk.’ Rasulullah SAW kemudian bersabda, ‘Ketika salah satu di antara kali masuk masjid, maka jangan duduk sebelum shalat dua rakaat,’” (HR Muslim).

Yang menjadi titik tekan (wajhud dalalah) dalam riwayat di atas adalah bahwa Rasulullah SAW mengingkari duduknya Abi Qatadah sebelum ia melakukan shalat dua rakaat tahiyyatul masjid. Hal ini menunjukkan bahwa shalat tahiyyatul masjid tidak gugur sebab duduk.

Pendapat kedua menyatakan, shalat tahiyyatul masjid menjadi gugur dan tidak perlu diqadha apabila seseorang terlanjur duduk ketika masuk masjid. Hal ini sebagaimana yang kami pahami dalam keterangan kitab Al-Majemu’ Syarhul Muhadzdzab yang ditulis oleh Muhyiddin Syaraf An-Nawawi.

Dalam kitab tersebut dijelaskan bahwa menurut hasil kesepakatan para ulama (ittifaq) seandainya seseorang masuk masjid kemudian duduk sebelum melakukan shalat tahiyyatul masjid dan jedanya lama, maka kesempatan untuk melakukan shalat tersebut hilang, dan ia tidak perlu untuk mengqadla`-nya.

لَوْ جَلَسَ فِي الْمَسْجِدِ قَبْلَ التَّحِيَّةِ وَطَالَ الْفَصْلُ فَاتَتْ وَلَا يُشْرَعُ قَضَاؤُهَا بِالْاِتِّفَاقِ كَمَا سَبَقَ بَيَانُهُ

Artinya, “Jika seseorang duduk di dalam masjid sebelum melakukan shalat tahiyyatul masjid dan berselang lama, maka hilanglah kesempatan melakukan shalat tersebut dan tidak disyariatkan untuk mengqadla`nya. Demikian menurut kesepakatan para ulama (ittifaq) sebagaimana yang telah dijelaskan,” (Lihat Muhyiddin Syaraf An-Nawawi, Al-Majemu’ Syarhul Muhadzdzab, Jeddah, Maktabah Al-Irsyad, juz III, halaman 545).

Lantas bagaimana jika jedanya tidak lama atau hanya duduk sebentar? Menurut pendapat para ulama dari kalangan Madzhab Syafi’i, tetap saja kesempatan untuk melakukan shalat tahiyyatul masjid berlalu atau hilang disebabkan duduk. Dan ia tidak perlu menjalankan shalat tahiyyatul masjid setelah duduk.

فَاِنْ لَمْ يَطُلِ الْفَصْلُ فَالَّذِي قَالَهُ الْاَصْحَابُ أَنَّهَا تَفُوتُ بِالْجُلُوسِ فَلَا يَفْعَلُهَا بَعْدَهُ

Artinya, “Jika seseorang duduk di dalam masjid sebelum melakukan shalat tahiyyatul masjid dan berselang lama, maka hilanglah kesempatan melakukan shalat tersebut dan tidak disyariatkan untuk mengqadla`-nya. Demikian menurut kesepakatan para ulama (ittifaq) sebagaimana yang telah dijelaskan,” (Lihat Muhyiddin Syaraf An-Nawawi, Al-Majemu’ Syarhul Muhadzdzab, juz III, halaman 545).

Beberapa Masalah / Hukum Yang Berkaitan Dengan Shalat Tahiyatul Masjid

Masalah Pertama:
Disyari’atkannya untuk shalat Tahiyatul Masjid di setiap waktu (tidak ada waktu yang terlarang), karena ia termasuk shalat yang berkaitan dengan sebab (yaitu karena masuk ke masjid). Inilah pendapat yang dipilih oleh Syeikhul islam ibnu Thaimiyyah, majduddin Abul Barakat, Ibnul Jauzi, dan yang lain. (Al-inshof : 2/802, Al-Muharrar : 1/86, Nailul Authar : 3/62, Fatawa li ibni Thaimiyyah : 23/219)
Pendapat ini juga dipilih oleh Syeikh Muhammad bin Utsaimin (Syarah Mumthi’ ” (4/179)) dan juga Syeikh Ibnu Baz dalam kitab fatawa.

Masalahan Kedua:
Waktu/pelaksanaan shalat Tahiyatul Masjid adalah ketika masuk ke masjid dan sebelum duduk. Adapun jika ia sengaja duduk, maka tidak di syari’atkan untuk mengerjakan shalat tahiyatul masjid. Hal itu dikarenakan telah kehilangan kesempatan (yaitu ketika masuk masjid dan sebelum duduk). (Ahkam Tahiyatul Masjid, 5)

Masalah Ketiga:
Adapun jikalau ia masuk masjid dan langsung duduk karena tidak tahu atau lupa dan belum mengerjakan shalat Tahiyatul Masjid, maka ia tetap disyari’atkan untuk mengerjakan shalat tahiyatul masjid, karena orang yang diberi uzur (karena lupa atau tidak tahu) tidak hilang kesempatan untuk megerjakan shalat tahiyatul masjid, dengan syarat jarak antara duduk dengan waktunya tidak terlalu lama. (Fathul Bari, 2/408)

Masalah Keempat:
Apabila ada orang yang masuk ke Masjid sedangkan azan dikumandangkan, maka yang sesuai syari’at adalah menjawab adzan dan menunda sebentar untuk shalat Tahiyatul Masjid, karena saat itu menjawab adzan lebih penting. Kecuali kalau ia masuk ke masjid pada hari jum’at, sedangkan adzan untuk khutbah tengah dikumandangkan, maka dalam kondisi seperti ini mendahulukan shalat tahiyatul masjid daripada menjawab azan (agar bisa mendengarkan khutbah). Karena mendengarkan khutbah lebih penting.” (Al-Inshaf, 1/427)

Masalah Kelima:
Apabila ada orang yang masuk ke masjid sedangkan imam saat itu sedang berkhutbah, maka tetap disunnahkan untuk mengerjakan shalat Tahiyatul Masjid, dan hendaknya meringankannya/mempercepatnya (Al-Fatawa li Ibni Taimiyyah, 23/219). Hal ini sebagaimana dalam hadits Nabi, “Maka janganlah ia duduk kecuali telah mengerjakan dua raka’at” (HR Bukhari (1163) dan Muslim (714)). Begitu pula dalam hadits yang lain,´“Hendaklah ia kerjakan dua raka’at, dan hendaklah meringankanya.” (HR Bukhari (931), Muslim (875)). Jika seorang khatib hampir selesai khutbah, dan menurut dugaan kuat jika ia mengerjakan shalat Tahiyatul Masjid akan ketinggalan shalat wajib (shalat jum’at), maka hendaknya ia berdiri untuk mengerjakan shalat jum’at, dan setelah selesai shalat Jumat hendaknya ia jangan sampai langsung duduk tanpa mengerjakan shalat tahiyatul masjid.

Masalah Keenam:
Penghormatan di Masjidil Haram adalah Thawaf, hal ini sebagaimana dikemukakan Jumhur Fuqaha’. Imam Nawawi berkata, “Shalat Tahiyyatul Masjidil untuk Masjidil Haram adalah Thawaf, yang dikhususkan bagi pendatang. Adapun orang yang Muqim/menetap disitu maka hukumnya sama seperti masjid-masjid yang lain (yaitu disunnahkan shalat Tahiyatul Masjid)” (Fathul Bari: 2/412)
Namun sebagai catatan, hadits yang dijadikan rujukan dalam masalah ini adalah hadits yang tidak shahih/benar. Bahkan tidak ada asalnya dari Nabi. Lafaz hadits tersebut adalah:

تحية البيت الطواف

“Tahiyyat bagi Al-Bait (Ka’bah) adalah thawaf,” (Lihat Adh-Dhaifah no. 1012 karya Al-Albani –rahimahullah-),

Jadi kesimpulannya shalat Tahiyatul Masjid berlaku untuk semua masjid, termasuk masjidil haram. Sehingga orang yang masuk masjidil haram tetap dianjurkan baginya untuk melakukan tahiyatul masjid jika dia ingin duduk.

Masalah Ketujuh:
Shalat qabliyah dapat menggantikan tahiyatul masjid, karena maksud dari shalat tahiyatul masjid adalah agar orang yang masuk masjid memulai dengan shalat, sedangkan ia telah melaksanakan shalat sunnah rawatib. Jika ia berniat shalat sunnah rawatib sekaligus shalat tahiyatul masjid atau berniat shalat fardhu maka ia telah mendapat pahala secara bersamaan. (Kasyful Qana’: 1/423)

Masalah Kedelapan:
Adapun seorang imam, maka cukup baginya untuk mendirikan shalat fardhu tanpa shalat Tahiyatul Masjid. Hal itu dikarenakan imam datang di akhir dan kedatangannya dijadikan sebagai tanda untuk mengumandangkan iqamat. (Subulus Salam: 1329)
Adapun jikalau imam telah datang sejak awal waktu, maka tetap disyari’atkan bagi imam untuk mengerjakan shalat Tahiyatul Masjid, sebagaimana makmum. Hal itu sebagaimana keumuman dalil, “Jika salah seorang dari kalian masuk ke Masjid, maka janganlah duduk sehingga ia shalat dua raka’at terlebih dahulu.” (HR Bukhari (444), Muslim (764))
Mengenai shalat di tanah lapang (seperti shalat ied, istisqa’), maka tidak disyari’atkan untuk mengerjakan shalat Tahiyatul Masjid, (Al-Fawakihul Adidah : 1/99)
Namun sebagian ulama’ ada yang membolehkan shalat tahiyatul Masjid di tanah lapang karena di tinjau dari segi hukumnya sama seperti shalat berjama’ah di dalam masjid. (Al-inshaf: 1/246). Namun yang lebih rajih insya Allah pendapat yang pertama, karena berbeda dari sisi tempatnya dan juga dzahirnya hadits : “Jika salah seorang dari kalian masuk ke Masjid…. (HR Bukhari dan Muslim)

Masalah Kesembilan:
Tidak dipungkiri bahwa shalat tahiyatul masjid berlaku utk siapa saja, laki-laki & perempuan yang hendak melakukan shalat berjama’ah di masjid. Hanya saja para ulama mengecualikan darinya khatib Jum’at, dimana tak ada satupun dalil yang menunjukkan bahwa Nabi –shallallahu Alaihi wassalam- shalat tahiyatul masjid sebelum beliau khutbah. Akan tetapi beliau datang & langsung naik ke mimbar (Al-Majmu’: 4/448).

Hikmah dari Shalat Tahiyatul Masjid
Hikmah dari mengerjakan Shalat Tahiyatul Masjid adalah sebagai penghormatan terhadap Masjid, sebagaimana seseorang masuk ke rumahnya dengan mengawali ucapan salam, dan juga sebagaimana seseorang yang mengucapkan salam kepada sahabatnya disaat keduanya bertemu.
Semoga Allah memberi pertolongan kepada kita agar kita senantiasa dimudahkan dalam memahami agama Islam yang benar, dan dimudahkan dalam mengamalkannya dan mendakwahkannya.

Pengertian Dan Tata Cara Shalat Tahiyyatul Masjid

 Shalat Tahiyyatul Masjid (تحية المسجد) artinya menghormati masjid. Dalam istilah syariah, Shalat Tahiyyatul Masjid adalah shalat sunnah dua rakaat yang dilakukan ketika seorang muslim pertama kali memasuki masjid dan belum duduk.
Pengertian dan tata cara shalat tahiyyatul Masjid
(Illustrasi)

تحية المسجد

PENGERTIAN SHALAT TAHIYYATUL MASJID

Secara bahasa Tahiyyatul Masjid (تحية المسجد) artinya menghormati masjid. Dalam istilah syariah, Shalat Tahiyyatul Masjid adalah shalat sunnah dua rakaat yang dilakukan ketika seorang muslim pertama kali memasuki masjid dan belum duduk.

NADHOM ASMAUL HUSNA


NADHOM ASMAUL HUSNA

Asmaul Husna

Arti dan keutamaan Asmaul Husna

Keindahan adalah milik Alloh, keperkasaan dan keadilan hanyalah milik Dzat yang Maha Agung, serta kasih sayangnya tercurahkan kepada semua makhluk dan alam semesta dalam Rohman RohimNya. Dalam segi bahasa Asmaul Husna ialah nama-nama Alloh yang baik, mulia dan agung sesuai dengan sifat-sifat-Nya. Nama-nama Alloh yang agung dan mulia itu merupakan suatu kesatuan yang menyatu dalam kebesaran dan kehebatan Alloh, sebagai pencipta dan pemelihara alam semesta beserta segala isinya.

Buletin Al Badar

{google-plus#//plus.google.com/101370749142569423899} {facebook#//www.facebook.com/buletinalbadar} {twitter#//twitter.com/BuletinAlBadar} {instagram#//www.instagram.com/buletinalbadar/}

Formulir Kontak

Name

Email *

Message *

Powered by Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget